Kita bisa mengantar orang memasuki
universitas, tapi belum tentu bisa membuatnya berpikir.
(Finley
Fater Dunoe)
“Mahasiswa”. Adakah hal lain yang dirasa, jika enggan tuk
meluapkan kebanggaan dan kesenangan bahwa kini “aku telah menjadi
“maha””siswa”. Ya, mahasiswa! golongan tertinggi dari kaum pelajar, bukan siswa
biasa atau lebih sederhananya seseorang yang sedang menempuh pendidikan di
“perguruan tinggi”. Lalu, sudahkah kita memaknai hakikat status kebanggaan yang
telah melekat dalam diri? Dan rasanya terlalu naïf jika hanya mengenal
mahasiswa sesederhana makna kamus belaka. mungkinkah mahasiswa adalah sosok
kaum muda berintelektual yang miskin oleh moral? Yang menghalalkan segala cara
untuk hanya mencapai tujuan – tujuan akademik (nilai/ijasah), Yang menggunakan
suara dan pergerakannya dengan apatis dan anarkis, atau yang muda yang hanya
berpusat pada kehidupan hedonis dan konsumtif, layaknya cerita-cerita dalam
sinetron. Itukah mahasiswa?
Nyatanya, Itu hanya
sebagian cermin dari tumpukan cermin-cermin retak yang memantulkan permasalahan
bangsa kita terkait dunia kampus dan mahasiswa. Dari masa ke masa, kian
beraneka karakter mahasiswa menghiasi bahkan bisa dikatakan mendominasi dinamika
pergaulan dunia kampus. Kampus yang dulu menjadi tempat pelepas dahaga, bagi
mereka yang haus akan ilmu. Kini, seolah hal tersebut hanya menjadi ikon kuno
sebuah kampus. Kampus di era kekinian, tak ubahnya sebagai pusat kebobrokan
moral, elitism, anti-kerakyatan, dan lahan bisnis ala dunia pendidikan. Dunia
kampuspun kini telah menjadi korban dari intervensi budaya luar yang penuh
kepentingan kapitalistik. Menjadikan mahasiswa lupa bahwa kampus adalah tempat
yang memang dimaksudkan untuk kegiatan akademis. Mereka telah terlena diatas
kepuasan yang diberikan oleh budaya hedonistic.
Adalah mahasiswa yang
tengah berada pada masa transisi, masa dimana mereka mulai meninggalkan tahap
kehidupan yang lalu yaitu remaja, dan mulai menuju tahap selanjutnya yaitu tahap
kedewasaan. Dalam masa ini, mereka tengah berada dalam situasi yang anomie, di
satu sisi mereka belum memiliki pegangan yang kuat, sementara di sisi lain
kepribadian mereka tengah mengalami pembentukan. Dalam masa ini mereka
seringkali terombang-ambing tak tentu arah oleh gempuran modernisasi. Jiwa
mereka masih labil, sehingga seringkali
di isi oleh hal-hal yang hanya bersifat kesenangan dan kepuasan diri. Jika
dinalar dengan paham Freudian, maka hasrat tersebut secara mendasar adalah
sesuatu yang bersifat instingtual. Ia berada dalam fase pertama perkembangan
struktur psikis manusia: yaitu id. Pada fase id ini semua tindakan mengacu atau
didasari oleh prinsip kesenangan-kesenangan yang bersifat spontan. Disadari
atau tidak, jika aspek ini dibiarkan untuk terus tumbuh justru akan memperlemah
kepekaan humanisme seorang mahasiswa.
Dan bukan tidak mungkin
jika nantinya mahasiswa sebagai Agent of
Change, Generasi yang diharapkan bisa memberi titik tolak perubahan kondisi
masyarakat ke arah yang lebih baik, justru menjadi golongan yang sangat pasif dan
tidak peka terhadap isu-isu terkini. Mahasiswa lebih tertarik untuk
meng”update” status facebook, twitter, atau jaringan social lainnya, daripada mendengarkan suara rakyat yang
menderita karena kebijakan pemerintah. Memang, Gerakan kemahasiswaan memang
tidak sepenuhnya mati. Gejala turun ke jalan dan melakukan aktivitas
social-politik masih menjadi pilihan utama bagi sebagian mahasiswa. Namun,
sadarkah kita bahwa mereka yang menyandang predikat sebagai kaum intelektual,
justru seringkali menjadikan kekerasan sebagai solusi untuk menyelesaikan
sebuah masalah.
Menjadi sebuah ironi,
tatkala melihat apa yang senyatanya justru berbanding terbalik dengan apa yang
seharusnya. Pendidikan selama ini diharapkan mampu menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, sehingga
hasil pendidikan tidak hanya individu dengan intelektual namun juga dengan
kepribadian dan karakter yang baik. Namun nyatanya, fenomena-fenomena tersebut
telah mampu menggambarkan realitas. Lalu, Adakah yang salah dengan pendidikan
kita? Ya… pendidikan Indonesia
tengah mengalami ketidakseimbangan pengembangan kecerdasan intelektual,
emosional, dan spiritual.
Fakta tak terbantahkan,
Pendidikan di Indonesia selama ini masih berorientasi pada pengembangan
kecerdasan intelektual (IQ) dan cenderung mengabaikan kecerdasan emosional (EQ)
dan kecerdasan spiritual (SQ).
Pendidikan di Indonesia selama ini seolah hanya berisi hafalan dan cara cepat
membabat soal tanpa ada pembentukan sikap mental yang positif. Perhatian
Pemerintah dan dinas pendidikan saat ini hanya cenderung fokus pada peningkatan
nilai-nilai setiap mata pelajaran atau yang berhubungan dengan IQ saja.
Sementara hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan moral, akhlak dan
kepribadian pelajar atau yang berhubungan dengan EQ (kecerdasan emosional)
masih kurang diperhatikan.
Memang,
pada umumnya masyarakat Indonesia
masih menganggap kecerdasan intelektual adalah yang paling utama yang harus
dimiliki oleh anak didik dalam proses pendidikan. Pendidikan kita selama ini
juga terlalu mengedepankan sains dan teknologi, dan cenderung mengabaikan serta
menggeser aspek-aspek humaniora. Bidang-bidang seperti budaya, seni dan sastra
merupakan bidang-bidang yang cenderung dianak tirikan. Padahal, melalui
bidang-bidang inilah kepribadian dan kemanusiaan kita, kepekaan sosial, religi,
kehalusan rasa, pembangunan nilai, moral, budi pekerti, dan sejenisnya, dapat terolah dan terasah.
Pengabaian terhadap
cabang ilmu sastra jelas sangat terlihat dari sedikitnya porsi pembelajaran
sastra sejak jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga sekolah Menengah Atas bahkan di
perguruan tinggi. Pada jenjang-jenjang pendidikan, sastra merupakan bagian dari
mata pelajaran Bahasa Indonesia. Akan tetapi, kenyataan di lapangan memperlihatkan
mata pelajaran ini lebih didominasi oleh pelajaran tata bahasa. pembelajaran
lebih ditekankan pada aspek pengetahuan (kognitif), bukan afektif (pendalaman
rasa). Siswa hanya diperkenalkan dengan karya sastra dan penulis angkatan
pujangga lama, sastra melayu lama, balai pustaka, pujangga baru, dan
angkatan-angkatan selanjutnya. Siswa hanya tahu novel siti nurbaya sebatas
marah rusli pengarangnya, seolah siswa hanya dipersiapkan untuk bisa menjawab
hal-hal yang bersifat hafalan. mereka tidak diajak untuk mendalami, memahami
dan menghayati unsur kehidupan dan nilai-nilai yang tersirat di dalamnya.
Tak
heran jika moral dan rasa kemanusiaan di negeri ini kian mundur seiring dengan
pembentukan karakter humanis generasi muda melalui pendidikan sastra yang kian
mundur. Seperti yang diistilahkan oleh Taufik Ismail “Kerabunan membaca dan
kelumpuhan Menulis” telah menjadi tanda kemunduran bangsa.
Humanisme Melalui Pembelajaran Sastra
Hanya
dengan jalan membaca roman orang dapat memperoleh pengalaman-pengalaman lain
dan hanya dengan membaca sajak orang dapat mengenal pelbagai perasaan murni
yang ada pada manusia tetapi yang sering disembunyikan.
(asrul
sani)
Belajar sastra pada
hakikatnya adalah belajar tentang hidup dan kehidupan. Melalui karya sastra,
manusia akan memperoleh siraman
batin yang mencerahkan
sisi-sisi gelap dalam hidup dan kehidupannya melalui kristalisasi nilai yang terkandung
dalam karya sastra. Teks sastra tak ubahnya seperti
layar ditampilkannya rekaman kehidupan yang dibangun oleh sebuah model yang
diciptakan oleh sastrawan untuk menjelaskan berbagai kemungkinan
kehidupan dari model tersebut. Karya sastra adalah sebuah karya dengan
gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial
yang mencangkup hubungan antar manusia yang terjadi dalam dunia nyata. Sastra
adalah karya yang tidak bisa lepas dari masyarakat. Karena antara masyarakat
dengan sastra terbuka sebuah hubungan yang dialektik atau hubungan timbal
balik.
Sastra pada dasarnya
adalah ungkapan, pandangan, dan penghayatan
seorang sastrawan terhadap kehidupan. Kehidupan itu
sendiri sangat luas, meliputi persoalan-persoalan kemanusiaan, baik yang
sifatnya individual, maupun persoalan sosial, politik, dan budaya dengan
berbagai dimensi dan berbagai nilainya
didalamnya. Dan seorang penulis atau sastrawan mencoba melukis itu semua dalam
dunia imajiner, yakni dalam wujud karya sastra. Sastra juga senantiasa kritis
terhadap persoalan-persoalan kehidupan dan selalu berupaya memancarkan
pandangan-pandangan untuk membantu
pembacanya agar
lebih memahami kehidupan dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Pemahaman kehidupan dan
nilai-nilai kemanusiaan melalui sastra tentu
tidak sama dengan pemahaman melalui ilmu-ilmu lain, karena sastra menyampaikannya melalui
unsur-unsur estetika.
Dengan karakteristik sastra tersebut, sudah
sepatutnya pembelajaran sastra diarahkan untuk mereguk manfaat-manfaat sastra,
yakni untuk lebih memahami dan memperkaya wawasan kehidupan, mempertajam watak
dan kepribadian, memperhalus budi pekerti, cipta, rasa, karsa, kepekaan sosial,
budaya, religi, dan kepekaan pada nilai nilai kemanusiaan. Ini semua akan
tumbuh jika pembelajaran sastra diarahkan pada apresiasi sastra dengan lebih
banyak menyentuh segi afeksi. Dalam hal ini, siswa diajak untuk menikmati,
memahami, dan menghayati karya sastra. Dan
misi pendidikan untuk memanusiakan manusia akan menjadi lebih ringan jika
pembelajaran sastra bisa diterapkan dengan baik. Dan bersama, Indonesia
growing with character.
DAFTAR
PUSTAKA
Faruk.
1999. Pengantar Sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Soyomukti,
Nurani. 2008. Pendidikan Berperspektif
Globalisasi. Yogyakarta: Ar-ruzz Media