“Hidup memang bermula
dengan B (Birth) dan berakhir dengan D (Death). Dan yang harus senantiasa
diingat bahwa diantara B dan D, ada C (Choice). Hidup adalah pilihan. Mau jadi
pahlawan atau pecundang. Numpang lewat atau menebar manfaat.”
Ya, hidup memang hanya sekali.
Karenanya, pilihlah hidup yang penuh arti. Yang penuh prestasi dan kontribusi.
Yang jasadnya mati tapi namanya tetap abadi. Yang hidupnya mulia, matinya
dikenang sejarah. Yang di dunia bahagia, di akhirat meraih surga. Yang di dunia
dicintai manusia, di akhirat hidup bersama ridha Tuhannya. Sejatinya, itulah
hakikat hidup sejati seorang manusia.
Kau telah pergi, memoar hidup
sejenak kembali, dan seperti halnya kau, perjalanan hidupmu juga mengajarkan
banyak hal. “Mbah Guru”, Ya, begitulah
masyarakat di desa ini memanggilmu. Dulu, sewaktu kecil aku sempat heran
mengapa orang-orang di desa ini memanggilmu dengan sebutan “Mbah Guru”? mengapa
tidak dipanggil “Mbah Madin” atau “Mbah Fagi” seperti halnya mbah-mbah
kebanyakan di desa ini yang biasa dipanggil mbah dan diikuti langsung dengan
namanya. Dan lambat laun, aku pun tahu
bahwa sebutan itu melekat karena kau, adalah guru pertama di desa ini. Sang
pembabat hutan kegelapan dan kebodohan.
Desa itu memang hanya sebuah desa kecil di pelosok Pamekasan, Madura.
Tapi, desa itu pulalah yang menjadi saksi dari perjuangan dan pengabdianmu. Mungkin,
aku memang tidak tahu persis bagaimana jerih payahmu, bagaimana kerasnya
episode kehidupan yang kau lalui hingga kau dihormati dan mampu mengangkat
derajat keluargamu dengan status pendidikanmu. Tapi, bukan berarti aku tak
tahu. Terlalu banyak orang yang menyimpan episode hidupmu dalam sejarah
pendidikan di desa ini. Hingga hari ini, di hari paska kepergianmu, aku masih
bisa melihat, mendengar, dan merasakannya.
Dulu, tentu tak banyak orang yang akan menyangka jika anak kecil yang
bernama Asmadin, yang sedari kecil berkeliling desa menjajakan ikan bersama
ibunya, karena memang ibumu berprofesi sebagai penjual ikan keliling yang oleh orang
Madura disebut “blijjeh”, akan
menjadi orang yang berpengaruh. Tak pernah ada keluh terucap dari bibirmu,
dengan penuh ikhlas kau menjalani semuanya. Kau tetap melangkah meski lelah,
tetap tersenyum meski sulit, dan tetap sabar di tengah takdir, hingga Allah pun
membuka jalan yang membawamu masuk indah rencana-Nya. Ya, ada seorang saudagar
kaya di desa kelahiranmu itu yang melihat kegigihan dan semangatmu. Hingga
akhirnya saudagar itu memutuskan untuk memilihmu sebagai pengganti putranya
yang tidak mau sekolah, dan terlanjur sudah ia daftarkan. Ah, rasanya, jika
melihat kondisi hidupmu seorang pun takkan pernah membayangkan jika kau akan
menjadi guru pertama di desa kelahiranmu, mengingat di jaman sebelum
kemerdekaan pendidikan seolah hanya untuk kaum bangsawan.
Namun, bukankah kita juga harus percaya, tak pernah ada yang tahu
darimana Allah akan memberikan pertolongannya, bukan? Yang jelas, Allah tidak
pernah tidur tuk melihat kegigihan, semangat dan mimpi orang-orang sepertimu,
Mbah.
Kaupun tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan Allah untukmu. Dengan
semangat kau belajar bersama cerah mentari, dalam sore yang menanti senja, dan bersama
malam yang sedikit menggoda untuk segera terlelap dalam hangatnya mimpi. Kau
tidak pernah merasa minder dengan statusmu sebagai putra “cok gunong” (istilah untuk putra yang berasal dari daerah
terpencil) meski teman-temanmu berasal dari seluruh kabupaten di Madura, bahkan
ada yang dari luar Madura, yang tentu dengan status social jauh lebih tinggi
darimu. Ya, begitulah kau. Hingga kaupun menjadi siswa kesayangan gurumu dan
diminta tuk tinggal dirumahnya. Sejak itu pulalah, namamu diubah menjadi “Fagi
WirjoAsmoro”. Nama pemberian dari guru yang selanjutnya terus melekat padamu.
Kau hidup bersamanya dalam didikannya tuk menjadi seorang guru. Hingga
akhirnya, kaupun lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Banyak tawaran
pekerjaan yang datang padamu, mulai dari Pegawai Pemerintahan, Bank, dan Guru.
Dan rupanya, jiwa seorang guru telah melekat dalam dirimu. Selayaknya, profesi
seorang guru memang tidak hanya didasarkan pada gaji guru yang akan dinaikkan
atau akan menjadi PNS, bukan pula merupakan pilihan terakhir setelah tidak
dapat berprofesi di bidang yang lain. Tapi, lebih pada sebuah idealisme luhur
demi tercipta generasi indonesia yang berkualitas di masa yang akan datang.
Itulah prinsipmu.
Menurutmu, guru adalah pekerjaan mulia. Bagimu dan juga bagi Oemar Bakri
lainnya, kesuksesan hanya ada jika kita bisa menjadi jalan sukses orang lain,
dan hal itu bisa didapatkan dengan
menjadi seorang guru dan pendidik yang mampu menjadi pembuka jalan kesuksesan
bagi anak-anak didiknya. Tentu, sukses disini tidak hanya dalam artian
kemampuan intelektual semata, tapi juga berpijak pada moralitas yang agung
sebagai basisnya. Itulah harapan tulus seorang pahlawan tanpa tanda jasa
sepertimu.
Awal-awal kariermu sebagai guru, kau ditempatkan di sebuah desa yang terletak
di kabupaten lain di Pulau Madura. Kala itu, kau juga baru saja mempersunting seorang
gadis yang bernama Nafiyah. Kewajibanmu sebagai guru dan jauhnya jarak tempat
tinggal dan tempat tugas menuntutmu untuk menyewa sebuah rumah di desa tempat
kau mengajar. Tak ayal, setiap senin pagi kau membonceng sang istri turut serta
ke desa dimana kau mengajar, dan tiap sabtu sore akan pulang ke desa dengan sepeda ontel
kesayanganmu. Begitulah, rutinas berulang setiap minggunya hingga kau dikarunia
seorang putra di pertengahan tahun 1954.
Baru setelah kelahiran putra ketigamu, desamu itu baru mulai terjamah
oleh pendidikan. Sekolah dasar mulai didirikan dan kau diangkat menjadi kepala
sekolah disana. Itu artinya kau tak lagi harus mengontel sepeda sejauh itu demi
melaksanakan kewajibanmu sebagai guru. Kau akan menjadi peretas pendidikan di
kampung kelahiranmu. Menjadi kepala sekolah tentu tak membuatmu memilih
berleyeh-leyeh menikmati fasilitas. Karena bagimu, kepala sekolah tetaplah
guru, hanya saja tanggung jawab sekaligus godaannya lebih besar. Ibarat sebuah
tanaman, bukankah makin tinggi tanaman, angin yang menerpanya juga akan semakin
kencang? Begitupun halnya dengan Kepala Sekolah. Dengan tanggung jawab dan
kuasa yang lebih besar, tapi jika tidak hati-hati tentu akan terlena, hingga
akhirnya terpedaya oleh candu duniawi.
Menjadi guru sekaligus kepala sekolah di daerah yang baru saja
terjamah oleh pendidikan formal, memang bukan hal yang mudah. Kau beserta
guru-guru lainnya harus berjuang keras membangun kesadaran baru masyarakat
setempat akan pentingnya pendidikan. Walau kau tahu itu tak mudah, namun jiwa
seorang pendidik terus menyemangati diri tuk terus melangkah demi mencerdaskan
kehidupan bangsa. Dalam harap, akan terciptanya Indonesia, dan Madura khususnya
sebagai bumi manusia berkualitas dan bermakna di hari esok.
Menjadi seorang guru juga tidak hanya dituntut mempunyai kewajiban
ilmu-ilmu akademis, tapi lebih dari itu seorang guru juga memiliki tanggung
jawab moral akan anak didiknya. Guru tidak hanya sebatas mengajar di depan
kelas, tapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Perilaku seorang guru adalah
contoh dan suri tauladan bagi murid-muridnya. Bagaimana bisa seorang guru
mengajar tentang nilai kejujuran jika sang guru, yang notabenenya adalah orang
yang mengajari tidak bisa melakukan hal-hal yang berbau kejujuran? Adalah kau
contoh seorang pendidik yang memegang teguh nilai pekerti tersebut. Tak
sebatang kapurpun kau tuliskan diluar keperluan mengajar, tak sebatang kayu
proyek bangunan sekolahpun kau bawa pulang meski hanya sekedar untuk kayu
bakar. Ah… andai saja, anak-anak Indonesia telah terbiasa terdidik dengan
nilai-nilai kejujuran, sejak kecil dan dimulai dari hal-hal kecil. Tentu yang
lahir adalah generasi yang tidak akan menjadikan Indonesia sebagai Negara
terkorup di Dunia seperti saat ini.
Selain itu, bagimu seorang guru juga harus mampu mendalami makna dan
komitmen sebagai seorang pengajar dan pendidik. Tidak hanya sebatas dalam
gedung-gedung sekolah, melainkan seluruh waktunya didekasikan untuk pendidikan,
baik dalam keluarga, dan juga masyarakat. Keluargamu, kau anggap sebagai sebuah
lahan percontohan dalam proses pemberian dan penanaman nilai-nilai pendidikan.
Dimata putra-putrimu termasuk ayahku, kau adalah sosok ayah terbaik sedunia,
tidak hanya Ikal Lascar Pelangi yang mempunyai ayah seperti itu, tapi ayahku
pun memiliki bapak yang tidak hanya menjadi ayah super baginya, tapi juga bagi
masyarakat di desanya.
Namun, siapa yang menyangka ayah super sepertimu, sedari kecil justru tidak
pernah menikmati kasih sayang dan didikan seorang ayah. Ayahmu meninggalkanmu,
ibu serta adikmu dan memilih pergi merantau ke luar pulau Madura tanpa ada
kabar, bahkan tak pernah kembali. Menurut informasi dari saudara-saudara
ayahmu, ayahmu menikah lagi dan telah meninggal di jawa. Hingga akhir hayat
ayahmu pun kau tak sempat lagi melihat jasadnya, bahkan liang lahatnya pun kau
tak tahu ada dimana. Pilu, tentu. Terasa sangat berat untuk diingat jika enggan
tuk mengatakan terharu.
Tak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah bukan berarti kau tak
mampu menjadi ayah dan pendidik bagi anak-anakmu. Kau memang mendidik
anak-anakmu dengan penuh disiplin. Kau memiliki cara tersendiri untuk
menunjukkan kasih sayangmu. Tidak hanya ayahku yang berkata demikian, paman dan
bibi pun tak memungkirinya. Kau tidak akan segan-segan untuk mengikat
anak-anakmu di pohon jati dekat persawahan belakang rumah semalaman, jika
anak-anakmu ketahuan berbohong, melalaikan tugas, ataupun bertengkar dengan
saudara sendiri maupun dengan orang lain. Kau selalu ajarkan mereka solidaritas
dan empati yang tinggi terhadap sesama. Kala itu, memang anak-anakmu sudah bisa
dikatakan anak orang terpandang, dan lebih mampu dibanding warga sekitarnya.
Tapi kau tak pernah henti memupuk kemandirian dan kedisiplinan mereka sejak
kecil. Tak ada satupun putramu yang kau manjakan. Mereka juga harus bisa
melakukan aktifitas layaknya orang desa pada umumnya. Yang laki-laki harus
berani dan bisa menggarap sawah. Sementara yang perempuan harus bisa melakukan
pekerjaan rumah tangga dengan baik.
Hanya saja, layaknya orang-orang di zamanmu, memang ada pembedaan
perlakuan dalam hal pendidikan antara anak laki-laki dan anak perempuan. Karena
memang, kultur di zaman itu mengatakan demikian. Hanya anak laki-laki yang
berhak sekolah. Sementara untuk anak perempuan, cukuplah hanya mengerti ilmu
agama dan ilmu-ilmu dasar rumah tangga. Namun, lambat laun tepatnya di penghujung tahun 1980-an, pemikiranmu
pun berubah, kau mulai menyadari pentingnya emansipasi wanita terutama dalam
hal pendidikan. Putri bungsumu kau sekolahkan setara dengan putra-putramu, hingga
perguruan tinggi. Dan kini, merekapun menjadi guru sepertimu, termasuk salah
satunya adalah ayah terbaikku, yang darinya aku dengar alunan cerita hati masa
lalu yang menginspirasiku tuk selalu bersyukur dan memanfaatkan
kemudahan-kemudahan yang ku dapat saat ini untuk terus melangkah membangun
kebermaknaan diri, bagi agama, masyarakat, dan negeri ini.
Kau memiliki orang-orang hebat yang mengantarkanmu menjadi bapak guru,
baik dalam keluarga dan masyarakat desa Rang Perang Laok Kecamatan Proppo
Kabupaten Pamekasan Madura. Dan kini kau menjadi orang hebat yang mengajarkanku
tentang arti perjuangan, kejujuran, dan tanggung jawab. Belajar dari
kisah perjalanan hidupmu, aku menjadi semakin mengerti bahwa Ilmu itu
mengangkat derajat orang yang mempelajari. Memudahkan orang yang mengamalkan,
makin bertambah jika dibagikan, dan akan abadi jika dituliskan. Ilmu itu,
mencahayaii gelapnya peradaban, membalik nasib menuju keberkahan, dan memantik
hadirnya kebahagiaan.
Sampai di penghujung akhir
hayatmu, betapa kau masih sangat bangga dengan profesi gurumu. Kau masih ingin
memakai baju PGRI kebanggaanmu, tak peduli baju itu telah sangat kusut dan
kusam, bahkan berhias beberapa sobekan setelah hampir 26 tahun tersimpan
selepas kau purna tugas. Saat terakhir kali aku bisa berbicara denganmu di
ruang ICU, sehari sebelum kepergianmu, masih teringat jelas kau memintaku tuk
mencarikan dan mengambilkan sandalmu. Ya, di tengah kondisimu yang tengah
terbaring lemah berbalut banyak selang, kau masih ingin melangkah. Dan waktu itu,
aku hanya bisa menangis.
Dan kini, kau telah benar-benar pergi.
Semoga segala amal ibadahmu diterima mbah, dan kau diberi tempat
terbaik oleh-Nya. Doakan selalu cucumu, agar bisa menjadi orang bermanfaat
sepertimu. Semoga, cucumu ini bisa meneruskan langkahmu, menjadi pejuang
pendidikan.
Selamat jalan Mbah Fagi,
Mbah Oemar Bakrie.(02-09-1930 - 05-04-2016)