“Entah
akan berkarir atau berumah tangga seorang wanita wajib berpendidikan tinggi
karena ia akan menjadi ibu. Ibu-ibu cerdas akan menghasilkan anak-anak cerdas.”
– Dian Sastrowardoyo
Kita semua tahu bahwa
di zaman ini perempuan tidak lagi dibatasi dan dikekang, utamanya yang
berkenaan dengan pendidikan. Bisa menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi,
bekerja, dan memiliki karir cemerlang, seolah telah menjadi alur hidup bagi
sebagian besar perempuan di masa kini. Mungkin, jika Kartini hidup di masa ini,
beliau akan sangat gembira melihat harapannya tuk melihat gadis modern yang
tidak saja berpendidikan, tapi juga bermanfaat telah banyak menjadi kenyataan.
Polemic wanita modern
tidak lagi berkutat pada haknya akan pendidikan, lebih dari itu, polemic wanita
di mata social saat ini adalah ketika mereka telah menempuh pendidikan tinggi,
mereka akan dihadapkan pada dua pilihan, yakni “bekerja” atau menjadi “ibu
rumah tangga”. Dan selalu, setiap pilihan akan selalu memiliki konsekuensi,
termasuk konsekuensi social. Begitupun dengan dua pilihan tersebut. Jika wanita
memilih tetap berkarir setelah mereka menikah, utamanya setelah mereka memiliki
anak, yang dikhawatirkan hanyalah kemampuan mereka dalam menanggung tugas
tersebut sekaligus, multi burden istilahnya.
Ok lah untuk urusan pekerjaan domestic bisa diserahkan pada asisten rumah
tangga, tapi untuk pengasuhan dan pendidikan anak, bukankah tetap menjadi
kewajiban orang tua?
“Apakah kamu yakin
mampu bekerja sekaligus menjadi istri dan ibu yang sama baiknya?”. Barangkali,
pertanyaan inilah yang acapkali menyelimuti wanita-wanita yang memilih untuk
menjadi ibu yang berkarir. Sementara, pilihan untuk menjadi “ibu rumah tangga”
pun bagi wanita modern saat ini juga tidak lepas dari konsekuensi social. “Apa
gak eman gelarnya, jika “hanya” akan menjadi ibu rumah tangga?”.
Hmm.. barangkali memang benar, bagi wanita modern saat ini,
usia 20-an adalah masa dimana dunia bersikap sangat sinis. Berbagai tuntutan
hadir, utamanya yang berasal dari cermin social. Semua itu dimulai ketika
pendidikan tinggi telah terselesaikan, pertanyaan “kapan nikah” akan selalu
mengiringi langkah. Lalu,
setelah menikah dan memiliki anak, mereka akan
dihadapkan pada pilihan untuk menjadi “wanita karir” atau “ibu rumah tangga”?
Ya, dan orang-orang selalu merasa lebih tahu dengan apa yang
seharusnya orang lain lakukan. Sesuai atau tidak sesuai dengan pandangan
mereka, mereka akan tetap saja sibuk berkomentar. Mungkin, ada baiknya jika di
masa ini, para wanita muda termasuk juga saya, harus pintar-pintar untuk
bersikap sesuai posisi dan kondisi. Ada waktu dimana kita harus menghargai
pendapat mereka, tapi di lain waktu juga berhak untuk membebalkan diri dari
semua komentar mereka. Karena bagaimanapun, hidup tidak pernah bisa
disamaratakan. Hidup juga terlalu singkat dan berharga untuk hanya diisi dengan
ajang coba-coba, karenanya belajar dari pengalaman orang lain juga perlu untuk
dilakukan.
Saya sendiri lahir dan
besar dari keluarga dengan ibu yang full di rumah. Melihat kembali ke belakang,
dan mengaitkannya dengan masa saat ini, dimana saya dan ketiga saudara saya
telah tumbuh dengan karakter dan kemampuan masing-masing, jujur, saya mengakui
bahwa kami bisa menjadi seperti saat ini, karena didikan dan perhatian yang
penuh tercurah untuk kami. Ibu saya hanya tamatan SMA, yang memiliki keinginan
kuat untuk menempuh pendidikan tinggi, walau kala itu memang tidak bisa
terwujud. Tapi meski demikian, saya tetap melihat ibu saya sebagai wanita yang
penuh integritas, eksistensi, dan selalu haus untuk belajar. Dulu, sewaktu
muda, ibu juga pernah menjadi guru di yayasan keluarga, beliau juga aktif dalam
kegiataan kewanitaan di sekitar rumah, dan pernah juga bekerja di rumah,
sebelum akhirnya memilih untuk focus mendidik anak.
Besar dari keluarga
dengan ibu yang full di rumah bukan berarti menjadikan keluarga saya pengikut
aliran yang menganggap bahwa wanita hanya berkutat dengan “Macak, Masak, dan Manak”. Justru, ayah dan ibu saya adalah orang
yang sangat menghargai pentingnya pendidikan. Termasuk juga bagi saya, anak
perempuan satu-satunya. Bahkan, mereka sangat mendukung saya untuk menempuh
pendidikan Strata-2 sejak masih muda. Karena menurut beliau, selain mumpung
masih muda dan belum terlalu banyak tanggungan, orientasi perjalanan yang
dilalui juga akan lebih ikhlas dan tulus untuk keilmuan dan pengabdian
setelahnya, bukan semata-mata hanya untuk cari gelar dan naik jabatan.
Lalu, sebagai wanita
muda yang berpendidikan tinggi, apakah saya dididik untuk melupakan kodrat saya
sebagai wanita?
Tentu tidak. Sama
halnya seperti ibu saya, saya pun mengamini bahwa perempuan harus
berpendidikan. Perempuan itu harus Cerdas, bukan untuk menyamai atau melawan laki-laki,
tapi untuk melahirkan generasi yang bisa membawa peradaban kearah yang lebih
baik lagi. Karena Ibu adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya yang juga harus
mengerti berbagai hal yang kelak akan ditanyakannya. Terlebih di zaman seperti saat
ini, untuk mendidik anak tentu tidak hanya diperlukan sosok perempuan yang
pandai mengurusi keperluan domestic, tapi juga perempuan yang bisa mendidik
moral dan intelektual seorang anak, dan untuk bisa melakukannya tentu
dibutuhkan bekal yang matang bukan?
Memang benar, bekal
yang matang, dan proses belajar tidak hanya bisa didapat dari sekolah. Dari
mana saja juga bisa. Tapi, kita juga tidak bisa memungkiri bahwa pendidikan
yang kita dapat di bangku kuliah juga akan sangat mempengaruhi cara berpikir,
berbicara, dan bertindak kita. Yang nantinya, kemampuan itu tidak saja akan
bermanfaat untuk mendidik anak, tapi juga akan menjadikan kita partner berpikir
yang baik bagi suami. Karena pendidikan yang baik akan membentuk cara berpikir
dan kemampuan kita dalam melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda.
Yang menjadi pertanyaan
kemudian, setelah menyandang gelar master dan menikah, saya akan memilih
menjadi “ibu yang berkarir” atau “ibu rumah tangga”?
Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, saya rasa saya harus kembali pada niat awal saya bahwa
saya sekolah tinggi-tinggi tidak hanya untuk diri saya. Tapi untuk
kebermanfaatan. Baik itu bagi keluarga, sesama, maupun untuk lingkungan social
dimana saya berada.
Sebagai perempuan
berpendidikan yang dewasa, saya tetap berpegang teguh bahwa wanita memang
seharusnya memiliki eksistensi dan kebermanfaatan sosial, tanpa mengesampingkan
bagaimana pendampingan kita bisa memberi arti. Bagi kesuksesan suami, dan bagi
kecemerlangan masa depan anak-anak. Semoga, saya dan wanita muda lainnya bisa.
Surabaya, April 2015