Hari ini, waktu telah mengantarmu pada dunia anak-anak yang
identik dengan wajah ceria penuh derai tawa. Saat kau menapakinya, kau mungkin
belum pernah tahu seperti apa duniamu saat ini. Yang kau tahu hanyalah bermain,
bermain, dan bermain. Senyum dan tawamu seolah mengisyaratkan bahwa kau sangat
menikmati duniamu saat ini. Ah.. ya,
dulu aku pun begitu. Tapi... itu
semua telah berbeda. Waktu... mungkinkah semua itu karena waktu? Entahlah, yang
jelas semua itu hanyalah apa yang disebut kenangan. Bagiku.
Masa telah berganti rupa adikku.. masaku dan masamu adalah dua
masa yang sudah sangat jauh berbeda. Memang, Semuanya tak harus sama. Itulah alasan mengapa Tuhan menciptakan dan
mengatur semuanya serba berbeda. Tuhan memenuhi dunia dengan berbagai warna,
bukan sekedar hitam, putih atau abu-abu tidak lain agar makhluknya mengenal
berbagai macam manusia dengan berbagai sisi kehidupannya. Termasuk aku, yang harus memandang nanar duniamu saat
ini.
Kau tahu? Dunia ini tak
lagi ramah dalam menyambutmu. Hal hal sederhana di sekelilingmu sudah menampakkan
taringnya tuk menerkammu. Seolah tak rela membiarkanmu tumbuh normal secara
mental dan psikologis. Mereka tengah berdiam diri
menunggumu dalam keriuhan budaya
semu.
Ya.. mereka tahu bahwa aku, kau, kita, pasti tumbuh bersama lagu. Entah lagu
apapun itu, yang jelas ia juga mampu membentuk gaya hidup dan pola pikir kita. Semua hanya karena
lagu.
Sederhana
memang, tapi mereka terlalu pintar untuk menganggap otak anak-anak sepertimu
layaknya Super spon. Yang bisa menyerap apa saja termasuk lirik lagu sebagai
sesuatu yang paling mudah untuk diserap oleh otak super spon tersebut. Bagaimana
tidak, beragamnya acara musik tiap hari menyuguhimu tontonan, pendengaranmu di
desak oleh bising lagu-lagu yang sarat dengan kata cinta, sakit hati, dan
perselingkuhan. Dan
alhasil kau hafal. Kau mulai asyik hidup dengan senandung lagu-lagu orang
dewasa, tanpa mengerti apa makna dari lagu tersebut.
Bukan..
bukan tidak adanya anak/penyanyi cilik yang menjadi penyebabnya. Lebih
tepatnya, tidak adanya lagu anak-anak yang dinyanyikan oleh anak-anak. bukankah
begitu? Kau lihat bukan, tidak sedikit anak-anak seusiamu yang nongol dan
bernyanyi di televisi. Tapi, yaa... begitulah. adakah
hal lain yang dirasa jika enggan tuk mengatakan, miris.
Mungkin
mereka lebih tertarik untuk menuruti cita rasa dan kemauan publik daripada
harus memikirkan perkembanganmu yang jelas-jelas tidak akan memberi keuntungan
ekonomis. Meminjam istilah Theodor Adorno sebagai “Budak Irama” untuk mereka
penikmat musik yang telah dikomoditaskan oleh industri sebagai korban banalitas
budaya massa. Dimana
musik adalah salah satu produknya. Sesuatu yang ironis memang, tatkala produk
kebudayaan yang ada direncanakan dan dibuat tidak lagi menurut dorongan kreatif
dari lubuk hati seorang seniman, melainkan didorong menurut cita-rasa dan
kemauan publik, untuk mampu memenuhi
permintaan
massa akan kepuasan kultural.
Lalu,
terlalu naifkah jika ada yang bilang kau dewasa terlalu dini? Rasanya tidak.
Kau memang telah terserat ke dunia yang belum saatnya untuk kau kunjungi. Dunia
orang dewasa. Tanpa meninggalkan tapak-tapak istimewa di masa kanak-kanakmu?
Ah, jika kau sadar, kau pasti akan sangat iri dengan masa kecilku. masa kecilku
memang terlalu seru jika dibandingkan dengan masa kecilmu saat ini. lagu-lagu
itu tidak hanya mengajakku tuk bernyanyi, tapi juga belajar. Belajar tentang
apa yang aku lihat, aku rasakan, dan aku dengar. Andai saja kau tahu lagu Trio
Kwek-kwek yang judulnya “Katanya”,
dimana liriknya sangat berisi pengetahun “Australia negeri wol, aborigin
sukunya, bumerang senjatanya, kangguru binatangnya…”
Berbicara
tentang lirik lagu, bukankah kata/kalimat yang sering diucapkan juga memiliki
kekuatan untuk men-sugesti. Jika lisan telah terbiasa mengucapkan kata kata
yang baik, niscaya orang itupun juga akan baik. Begitu juga sebaliknya. Bisa
kita bayangkan, apa yang terjadi dengan Indonesia 20 tahun mendatang, jika kini
para seniman dan pencipta lagu mulai kembali menghias wajah lirik lagu
anak-anak Indonesia dengan pengetahuan, dan nilai-nilai karakter.
Dalam
riuhnya perayaan hari musik nasional yang baru saja kita peringati di tanggal 9
maret ini, sama seperti diriku, aku ingin kau percaya bahwa bangsa ini masih
punya hati untuk memperbaiki semuanya. Semoga...